Kamis, 18 Oktober 2007

Otokritik Penguatan Demokrasi Lokal dengan Pilkada

Oleh: Akmal Nur

Lahirnya Undang – undang tentang otonomi daerah telah membawa harapan bagi bangsa Indonesia tentang sistem kekuasaan yang dulunya sangat terpusat atau sentralisasi menuju desentralisasi. Pelaksanaan otonomi daerah telah menjadi konsumsi ditiap daerah dalam mendorong lahirnya sebuah sistem demokrasi yang belakangan dikenal dengan demokrasi lokal. Berbagai tindakan riil dapat kita lihat dari otonomnya pelaksanaan pemerintahan, pemekaran daerah, pelaksanaan pemilihan kepala daerah secara langsung dan lain-lain. Hal-hal tersebut paling tidak telah membawa masyarakat pada sebuah pembelajaran politik dalam berdemokrasi sekaligus menimbulkan efek-efek sosial yang tidak diinginkan, ini disebabkan karena kesiapan rakyat akan demokrasi masih dalam tahapan pembelajaran.

Secara sederhana demokrasi dapat dimaknai sebagai sebuah sistem politik yang berupaya untuk mengantarkan keputusan-keputusan politik secara partisipatif oleh individu-individu yang mendapatkan kekuasaan melalui persaingan yang adil (fairness competition) dalam memperebutkan suara rakyat. Adapun demokrasi itu telah mewarnai pertarungan politik ditingkat lokal yang melahirkan desentralisasi politik, sehingga pertarungan kepentingan dalam aras lokal dapat terjadi sewaktu-waktu yang dapat menimbulkan prilaku-prilaku kontradiksi sosial yang secara riil dapat kita lihat dalam berbagai kasus-kasus konflik dan kekerasan pada tingkat lapisan masyarakat.


Berbagai kasus kemudian muncul dalam pelaksanaan demokrasi lokal ini, kasus pemekaran daerah diberbagai tempat yang melahirkan konflik sosial atau kerusuhan massa. Masih ada dalam ingatan kita tentang pemekaran daerah Polewali Mamasa dan baru-baru ini pemindahan ibukota banggai Sulawesi Tengah, serta berbagai kasus-kasus lain. Belum lagi perkelahian antara pendukung calon pemerintah daerah dalam pilkada diberbagai penjuru tanah air. Kesemuanya itu telah mewarnai pelaksanaan demokrasi lokal. Efek tersebut menimbulkan dua persepsi. Pertama kasus tersebut dilihat dari persepsi epistimologi sehingga dinilai sebagai sebuah kewajaran mengingat masyarakat juga yang akan diuntungkan adapun efek dari hal tersebut itu karena masyarakat dalam tahapan meraba-raba demokrasi yang selama ini di simpan di gudang istana orde baru. Dan persepsi yang kedua dilihat dari konteks aksiologi menganggap hal ini sebagai suatu hal yang tidak wajar karena yang selalu menjadi korban dari penegakan demokrasi adalah rakyat dan yang diuntungkan adalah elit-elit politik lokal. Sehingga dalam mencermati hal tersebut paling tidak kita harus melihat harapan dan kenyataan pelaksanaan demokrasi lokal, sehingga dalam memandang persolan tersebut kita terjebak pada kedua persepsi yang ada.

Harapan
Pelaksanaan demokrasi lokal diharapkan dalam bentuk pertama dapat menjadi harapan rakyat dalam memajukan daerahnya masing-masing. Sehingga tidak ada lagi kecemburuan sosial yang selama ini terjadi de era orde baru. Dimana pembangunan tidak merata diseluruh penjuru tanah air. Terdapat daerah yang kaya sumberdaya alam akan tetapi memiliki penduduk yang tidak berkembang sebut saja Papua daerah yang setiap harinya menghasilkan berton-ton emas tetapi penduduknya sampai sekarang masih menggunakan koteka. Serta berbagai daerah lain yang memiliki nasib yang sama. Dengan adanya peluang demokrasi lokal yang lahir dari kebijakan otonomi daerah diharapkan dapat mengatasi itu semua. Kedua Dengan penguatan demokrasi lokal diharapkan dapat menjadi kanter lapis kedua terhadap hegemoni pihak asing dalam melakukan infasi ekonomi dan budaya. Kuatnya pengaruh asing dalam konteks sekarang ini mengharuskan kekuatan struktur kenegarahan dalam posisi pertahanan yang lebih kokoh. Hadirnya pemerintah daerah yang otonom dalam mengurusi daerahnya, mempunyai peluang yang sangat besar dalam menentukan kebijakan yang dapat mengkanter infasi bangsa asing. Kebijakan perekonomian misalnya dapat diatur dalam peraturan daerah (PERDA) yang dapat menguntungkan rakyat secara umum. Ketiga Dengan penguatan demokrasi lokal diharapkan peluang akan kesadaran politik masyarakat semakin besar. Dimana akses-akses untuk menyampaikan aspirasi politik semakin jelas. Hal ini berbeda pada zaman orde baru dimana daerah tidak terlalu banyak merealisasikan keinginan masyarakat karena harus mendapat persetujuan dari pemerintah pusat. Keempat pelaksanaan demokrasi lokal diharapkan mampu melahirkan pemimimpin daerah yang memiliki legitimasi politik masyarakat yang kuat dengan adanya pelaksanaan pemilihan kepala daerah secara langsung (PILKADA).

Kenyataan
Implementasi demokrasi lokal tidaklah sepenuhnya sesuai dengan yang diharapkan, justru dampak yang kita lihat semakin memperburuk tatanan sosial masyarakat yang selama ini hidup secara damai dan tentram. Salah satu contoh adalah pelaksanaan PILKADA (Pemilihan Kepala Daerah) secara langsung. Hampir di berbagai daerah Indonesia dalam menyelenggarakan pilkada diwarnai konflik dan kerusuhan dari pihak yang kalah dan menang dalam pelaksanaannya. Bahkan tak jarang kita menyaksikan diberbagai media aksi kekerasan yang dilakukan menimbulkan berbagai korban jiwa. Menyalahkan masyarakat yang melakukan aksi tersebut bukanlah hal yang sepenuhnya benar, karena sekali lagi aksi yang dilakukan masyarakat terjadi karena ketidaktahuannya terhadap apa yang mereka lakukan, mereka hanyalah boneka-boneka yang dipermainkan oleh elit-elit politik ditingkat lokal. Tak jarang juga kita saksikan berbagai praktik politik busuk dipraktikkan dalam pelaksanaan demokrasi tersebut seperti politik uang, penggelembungan suara, pembusukan nama calon dan sebagainya. Hal itu wajar terjadi pada pelaksanaan demokrasi di Indonesia karena menurut iblis di negeri ini tidak ada yang gratis dan politik memang tidak mengenal salah dan benar tetapi semuanya benar.

Salah satu fakta lagi yang dapat kita saksikan dari besarnya dampak pelaksanaan demokrasi lokal adalah lahirnya elit-elit baru atau penindas baru ditingkat lokal. Beberapa daerah yang telah melaksanakan salahsatu pesta demokrasi (Pilkada), serta menerapkan konsep otonomi daerah secara prosedural justru merasakan kondisi yang sama dengan sebelum pelaksanaan tersebut, bahkan sebahagian daerah memiliki kondisi yang lebih buruk, hal ini sungguh bertentangan dengan tujuan demokrasi itu sendiri yang ingin memberikan keamanan, kesejahteraan dan keadilan kepada masyarakat kita bisa menyaksikan dari pertumbuhan kemiskinan yang semakin hari semakin melonjak di beberapa daerah, kekerasan massa yang sewaktu-waktu dapat meledak baik setelah pilkada maupun sebelumnya. Semua itu disebabkan karena desentralisasi kekuasaan dimanfaatkan oleh pemerintah daerah untuk menjadi penindas-penindas baru ditingkat lokal baik itu sebagai pemain politik busuk untuk melayani kepentingan pribadinya maupun untuk menghamba kepada kepentingan para pemodal yang telah membiayai kampanye politiknya, sehingga rakyatlah yang harus menanggung itu semua.

Di Mana Posisi Kaum Intelektual? 
Mengharapkan peran kaum intelektual dalam setiap problem kebangsaan adalah sautu hal yang harus kita lakukan, karena bagaimanapun perjalanan bangsa Indonesia tidak dapat dilepaskan dari peran kaum intelektual. Namun dalam konteks sekarang ini intelektual itu bukanlah suatu hal yang sangat diharapkan karena justru yang menghancurkan juga negeri ini adalah kaum intelektual juga. Sehingga kita harus membedakan antara intelektual picisan dan intelektual organic. Begitupula dalam konteks kemahasiswaan yang selama ini disebut bagian orang-orang intelektual atau idealis, justru sebahagian besar adalah pelacur-pelacur intelektual di negeri ini. Kalau yang ada di tempat lokalisasi, mungkin hanya maaf menjilat pantat-pantat pejabat yang datang akan dan tidak terlalu merugikan kepentingan umum akan tetapi pelacur intelektual sudah menjelit pantatnya pejabat malah merugikan lagi rakyat.

Dalam pelaksanaan pilkada misalnya, tidak sedikit orang-orang intelektual bahkan mahasiswa yang terlibat menjadi team sukses yang nyata-nyata diketahui bahwa politik yang dilaksanakan adalah politik busuk sebagaimana indikator di atas. Belum lagi aksi-aksi yang mereka lakukan justru mendukung kebijakan pemerintah daerah yang melakukan pemerasan terhadap rakyat. Hal ini justru menyurutkan harapan kita akan peran kaum intelektual atau mahasiswa dalam perbaikan pelaksanaan demokrasi lokal. Sedikit untuk mengurangi kejengkelan kita mengatakan bahwa wajar negeri ini banyak pelacurnya intelektualnya, negaranya sendiri adalah Negara pelacur intelektual, lihat saja pemerintah telah menyetujuai resolusi PBB tentang sanksi iran yang telah menjilat pantat AS.

Akan tetapi tumbuhnya api perlawanan intelektual atau mahasiswa organic yang minoritas itu adalah harapan kita semua. Pertama kita masih mengharapkan kepada mereka akan pengawalannya terhadap pelaksanaan demokrasi lokal, paling tidak dengan senantiasa mengungkap dan mendiskusikan kebusukan-kebusukan politik yang ada pada lokalitas daerahnya masing-masing. Dari diskusi itulah pengawalan akan harapan demokrasi lokal dapat kita manfaatkan menjadi peluang untuk mewujudkan tatanan masyarakat yang berkeadilan, dengan berusaha meminimalisir segala efek yang ada. Kedua kita juga masih mengharapkan adanya sikap kelembagaan mahasiswa kalau memang orang-orang yang duduk disana belum terkontaminasi oleh penguasa lokal yang menindas, untuk mengambil sikap yang jelas terhadap kepemihakan terhadap rakyat. Paling tidak menjadi motifator, inspirator, katalisator, dan profokator kalau perlu. Kita tunggu saja.

Akmal Nur. Anggota Badan Pekerja INTRAS Sulawesi. 

[Selengkapnya]

Sekali Merdeka, Tetap Tidak Merdeka!

Oleh: Abdullah

Peringatan hari ulang tahun kemerdekaan RI setiap tahun yang dilaksanakan pada tanggal 17 Agustus 1945 merupakan ritualitas yang tidak bermanfaat bagi bangsa/negara dan masyarakat indonesia. Peringatan hari kemerdekaan tersebut merupakan seremonial belaka yang seolah-olah bangsa indonesia membangun image kepada rakyat indonesia sudah merdeka sebagai mana yang tercantum dalam UUD 1945. berbagai persoalan yang melanda negeri ini akibat tidak lepas pengaruh skenario global dalam menjajah secara halus bangsa indonesia baik dalam bidang ekonomi, sosial, budaya, politik. Kita tidak menemukan kearifan bangsa indonesia sebagai bangsa yang merdeka dalam menghadapi dinamika dan tantangan zaman diera modernisasi.

Sementara aparatus negara kita tidak sadar akan keberadaan negara dibawah cengkraman kapitalisme neo-liberal. Sementara pemerintah kita hanya bisa mengumandangkan kata slogan kemerdekaan setiap tahun!. Tetapi esensi dari kemerdekaan belum kita memahami secara mendalam apa arti kemerdekaan yang sesungguhnya. Tetapi kita tidak sadar apa yang dilaksanakan oleh mereka setiap tahun itu tidak mencerminkan nilai-nilai luhur bangsa indonesia sebagai bangsa merdeka. hanya sekedar menjalankan rutinitas seremonial belaka dalam mengingat kembali masa lalu bangsa indonesia dengan kegiatan yang bersifat hura-hura.


Kata kemerdekaan menjadi kata yang tidak bermakna bagi bangsa dan masyarakat indonesia. Semakin hari kondisi bangsa indonesia semakin terpuruk, berbagai macam problem yang muncul dalam realitas sosial masyarakat kita tidak mampu dijawab oleh pemerintah seperti pendidikan, kesehatan, kemiskinan, dan pengangguran. semestinya pemerintah harus menafsirkan dan merefitalisasi kembali kata kemerdekaan bangsa indonesia dimasa akan datang menjadi bangsa yang jujur dan bermartabat. Disisi lain mentalitas dan karakter bangsa indonesia masih menampakkan karakter yang menindas dan merugikan kepentingan orang banyak seperti tumbuh suburnya KKN dalam sistem pemerintahan. Kondisi bangsa indonesia mengalami stagnasi ditengah hantaman arus modernisasi, dan liberalisasi zaman. Menurut Yudi Latif dimasa akan datang bangsa indonesia ada kekhawatiran/kecenderungan terancam disintegrasi NKRI. Sebab wawasan kebangsaan masyarakat indonesia semakin pudar akibat persoalan bangsa/negara semakin terpuruk akan mengabaikan kepedulian dan kepentingan rakyat. seperti kasus Timur-Timur lepas dari NKRI akibat lemahnya wawasan kebangsaan masayarakat, lemahnya diplomati politik internasional dan kuatnya intervensi asing dalam mengancam kestabilan wilayah NKRI.

Sekarang muncul lagi Maluku selatan, Aceh, Papua meneriakkan wacana disintegrasi dari NKRI, kalau sudah begitu tidak menutup kemungkinan daerah lain juga punya potensi akan melakukan hal yang sama seperti mereka. selama ini dominannya peran pemerintah pusat dalam mengatur sumber daya alam daerah, sementara daerah mereka mendapatkan hasil kekayaan alamnya sedikit dan cenderung dimarginalkan. Era reformasi melahirkan otonomi daerah juga tidak membawakan hasil yang signifikan bagi kemajuan daerah. Yang justru melahirkan kecenderungan primodialisme dan fanatisme kedaerahan.

Perubahan paradigma kebijakan dari sentralisasi ke desentralisasi hanya secara prosedural formal tetapi secara praktiknya justru memunculkan kekuatan-kekuatan baru ditingkat daerah. Arus perubahan pun ditingkat daerah selalu dihambat oleh kekuatan-kekuatan yang dominan, sehingga kekuatan minoritas diganjal dan tidak mendapatkan akses dalam pemerataaan pembangunan baik fisik maupun non fisik.Negara cenderung menerapkan politik dominasi dan hegemoni dalam menundukkan masyarakat sipil. Seolah-olah pemerintah mengklaim diri memiliki otoritas yang besar dalam mengatur kebijakan negara dan masyarakat sipil selalu dimarginalkan oleh kebijakan negara dalam hal ini pemerintah. state dan sipil society diindonesia selalu menempatkan posisi yang berbeda dalam kerangka negara. Ada pendikotomian pemerintah dalam memandang sipil, yang seolah-olah masyarakat sipil lepas dari kerangka masyarakat negara. Menurut Anthoni Gramscy masyarakat negara dan masyarakat sipil tidak ada perbedaan tetapi penempatan posisi saja yang berbeda antara pemerintah dan masyarakat sipil. Masyarakat sipil melakukan pembangkangan terhadap negara yang selama ini mendominasi dalam mengambil peran-peran masyarakat.

Negara mengalami pelemahan akibat negara tidak mampu menjawab persolan-persoalan sosial kemasyarakatan. Disisi lain kuatnya pengaruh neoliberalisme dalam mengintervensi peran negara. Akhirnya negara mengalami ketergantungan besar terhadap negara-negara maju. Akibat ketergantungan tersebut negara tidak memiliki kekuatan untuk melawan kapitalisme neo-liberal. Dan akhirnya aset-aset negara untuk kebutuhan masyarakat di privatisasi, liberalisasi pasar, dan deregulasi kebijakan sesuai dengan pesanan dari negara-negara pendonor. Semestinya kita bisa belajar dari sejarah masa lalu bangsa indonesia dimana pada saat itu dijajah oleh kolonialisme belanda ratusan tahun, hampir semua kekayaan alam indonesia dikuasai oleh belanda. Begitu pahitnya kehidupan para nenek moyang kita untuk memperjuangkan negara indonesia dari cengkraman kolonialisme belanda. Sadar atau tidak kita masih dijajah kehidupan kita hari ini baik dari segi ekonomi, sosial budaya, politik, dan lain-lain sebagainya. Sementara kita hanya bisa berteriak tentang kemerdekaan bangsa indonesia.

Karakter bangsa yang merdeka tidak ditemukan dalam negara indonesia, ada sesuatu yang hilang dari bangsa kita hari ini belum kita temukan. inilah ciri fenomena bangsa yang belum merdeka dari keterkungkungan bangsa-bangsa lain. Semestinya kita sedih melihat perjalanan bangsa indonesia dari hari kehari semakin merosot auranya. Ketika kita melihat masyarakat indonesia dari sabang sampai merauke selalu akan muncul pertanyaan kita tentang kepedulian negara dalam menjawab fenomena kemiskinan, kelaparan yang melanda masyarakat indonesia. Banyak saudara-saudara kita yang mengalami hal seperti itu. sementara mereka juga manusia membutuhkan bantuan dalam menyelamatkan kehidupan. Kelaparan dan kemiskinan bukan karena takdir dari Tuhan yang maha esa, tapi ada kondisi sosial yang membuat mereka akan mengalami hal seperti itu. Kalau negara tidak memiliki formasi sosial yang jelas maka otomatis akan terjadi kesenjangan sosial dalam kehidupan berbangsa dan bernegara seperti yang dialami masyarakat indonesia.

Sementara silih bergantinya kepemimpinan tidak di iringi dengan suasana perubahan wajah bangsa indonesia. Yang berubah hanyalah orang-orangnya tetapi karakter dari sebuah bangsa tidak akan berubah ketika kita tidak melakukan pemotongan karakter dan mentalitas bangsa yang korup. Saya tidak yakin dengan perubahan diindonesia kalau model dan sistem kenegaraan kita masih menganut sistem peninggalan orde baru. Sejalan dengan derasnya arus reformasi yang ditandai runtuhnya kekuasaan rezim orde baru pada tanggal 21 ei 1998. menadakan kuatnya pengaruh rezim soeharto dalam membentuk karakter bangsa indonesia. Agenda reformasi gagal dalamb menuntaskan watak-watak orde baru dalam sistem pemerintahan. Kilas balik sejarah reformasi pada tahun 1998 menandakan kemenangan bagi kaum muda dalam mengawal indonesia di era transisi kepemimpinan. Kuatnya arus titik balik dari reformasi justru membuka peluang bagi kekuatan lama dalam mendominasi sistem pemerintahan indonesia.
Yang justru sekarang ada kemungkinan besar ORBAISME tumbuh subur dinegara indonesia, walaupun soeharto tidak memegang tampuk kekuasaan.

Kondisi bangsa mengalami kekacauan dalam segala aspek kehidupan berbangsa dan bermasyarakat. Kondisi sosial, ekonomi, budaya, politk pun masih menandakan model yang dianut oleh sistem pemerintah orde baru, walaupun kita sudah menumbangkan rezim otoriter tersebut. Tetapi kenyataan yang terjadi dilapangan masih didominasi oleh orang-orang lamu walaupun mereka memakai baju yang baru bernama reformasi. Situasi politik pun tidak ada perubahan dalam tubuh partai politik. Partai politik selalu memproduksi hasrat dan libido politik kekuasaan demi kepentingan pribadi dan kepentingan institusi kepartaian. Sehingga segregasi partai politik sebagai perpanjangan dari rakyat untuk memperjuangkan kepentingan rakyat dalam pemeintahan mandul. Karena partai lahir bukan atas dasar kepentingan orang banyak, tetapi dia hadir sebagai wadah dalam mencari popularitas dan kekuasaan. Fenomena yang terjadi di lembaga legislatif kita sangat di pengaruhi oleh situasi politik kepentingan. Itu tergantung dari partai mana yang dominan dalam mempengaruhi Pergolakan situasi politik. Apakah itu partai islam atau non partai islam kenyataannya hampir sama yang justru menipu rakyat dengan memakai baju agama. Kita melihat kenyataan tidak sedikitpun partai politik yang berlabelkan islam, akan tetapi simbol tersebut tidak dinampakkan sebagai mana ajaran agama Islam.

Kemenangan AS dengan Demokrasi Liberal
Sebagaimana teorinya Francis Fukuyama dalam bukunya The End Of History And The Last Man. Runtuhnya Unisoviet Menandakan kemenangan kapitalisme dengan demokrasi liberal dalam menentukan percaturan politik didunia. Seolah-olah amerikalah sebagai negara representasi dunia yang menerapkan demokrasi dalam pemerintahan. Keberpihakan pemikiran Francis Fukuyama dalam bukunya tersebut tidak lepas dari politik representasi AS dalam mendominasi negara dunia ketiga. Katankalah negara indonesia adalah salah satu contoh negara yang tidak lepas dari kendali AS dalam menentukan kebijakan baik dalam negeri maupun luar negeri. Termasuk sistem yang diterapkan indonesia adalah sistem demokrasi prosedural. Seolah-olah pemerintah mengatakan negara indonesia sudah maju, karena indonesia sudah menerapkan demokrasi. seperti pemilihan langsung Presiden dan Wakil presiden tahun 2004 sebagai indikator atau tolak ukur dari keberhasilan demokrasi.

Pemilu langsung tahun 2004 adalah sebuah bentuk manipulasi dari demokrasi prosedural dalam mendapatkan kursi kekuasaan. itu hanya merupakan bentuk pesta pora dan tawar menawar dalam merebut kursi kekuasaan. Hasil dari pemilu langsung tahun 2004 tidak membawakan hasil yang signifikan bagi proses pembelajaran masyarakat. walaupun disudah dilegitimasi dengan Undang-Undang Dasar 1945. Pertanyaannya adalah benarkah negara indonesia sudah menerapkan demokrasi dan model demokrasi seperti apakah yang diterapkan. Kalau dirunut dari sejarah berdirinya bangsa indonesia, maka akan muncul pertanyaan yang mendasar apakah selama ini peranan bangsa indonesia dalam mensejahterakan rakyat.

Abdullah. Anggota Badan Pekerja INTRAS Sulawesi. Peneliti kesehatan masyarakat. 


[Selengkapnya]

Peran Cendikiawan untuk Peradaban Islam

Oleh: Asranuddin Patoppoi

Permasalahan yang dialami oleh ummat Islam, disebabkan oleh dua factor, secara eksternal dan internal. Faktor eksternal adalah permasalahan yang dialami oleh ummat yang disebabkan karena adanya invasi dan serangan kebudayaan yang sangat dahsyat, kemudian factor internal adalah masalah karena keaadaan ummat Islam yang sudah mulai meninggalkan nilai-nilai luhur dalam agama ini. Setelah bebarapa rentetan peristiwa dunia, menempatkan ummat Islam berada pada kondisi yang suram.

Peristiwa jatuhnya gedung The Twin Word Trade Center (WTC) New York, AS pada tahun 2002 merupakan awal Islam “diperangi” karena Islam diberi label teroris. Dengan dalih memerangi terorisme, AS memburu musuh-musuhnya yang dianggap berbahaya untuk kepentingan AS, sehingga terciptalah perang Afganistan, Iraq dan (menyusul) Iran dan beberapa kekacauan dibeberapa belahan dunia yang dilatarbelakangi isu teroris, termasuk di Indonesia. Dimana-mana, negeri-negeri Islam mengalami hal serupa yang dilanda dengan ketakharmonisan, kecemasan, ketakutan. Tidak sedikit aktivis muslim yang ditangkapi dari berbagai belahan dunia yang kemudian dicekal bahkan dipenjarakan.


Salah satu factor penghambat dalam kemajuan ummat menurut Ali Syariati adalah tradisionalisme dalam beragama. Beberapa pahaman keagamaan yang membuat stagnan, misalnya dengan menganggap pintu berfikir atau ijhtihad telah ditutup, padahal menurut penulis justru salah satu aspek yang sangat penting dalam membangun sebuah peradaban. Aspek yang lain adalah terjadinya pertikaian yang terus terjadi dikalangan ummat yang diwakili oleh mazhab besar dalam Islam, padahal pertentangan secara teologis dapat dikatakan tidak ada, perbedaan yang ada hanyalah pada aspek furu’(partikulir) dalam menjalankan syariat keberislaman.

Demikian halnya dengan serangan kebudayaan yang melanda ummat Islam hari ini. Dimana ummat telah terpatron pada sebuah kebudayaan artificial dari barat. Tumbuhnya, sikap dan gaya hidup (life style) hedonistic, konsumeris, individualistic, dll, kian memperlemah posisi ummat, sehingga kita menjadi subordinate dari sebuah kebudayaan. Ummat ini juga mendapat stigma yang buruk, dimana-mana menjadi ummat yang terkebelakang, miskin, maniak kekerasan, dll menjadi sesuatu hal yang tidak menggembirakan untuk kemajuan Islam. Disisi yang lain, ummat secara internal mengalami kerapuhan, dimana rasa solidaritas atau ukhuwah menjadi barang yang langka. Pada hal sesungguhnya ini merupakan salah satu modal awal untuk melakukan perubahan ditubuh ummat.

Sinergitas Kekuatan Menjadi Kemestian

Dengan melihat kondisi tersebut diatas, maka kita sebagai bagian dari ummat harus melakukan langkah-langkah yang tersistematis sehingga bangunan peradaban Islam yang telah hancur dapat mengalami pertumbuhan kembali. Hal yang pertama dilakukan adalah menyadari bahwa ummat ini diambang kehancuran kemudian melakukan hal-hal yang produktif untuk memajukan ummat, misalnya dengan revitalisasi nilai dengan menggali kembali dan menjalankan ajaran-ajaran Islam yang hakiki, seperti ukhuwah, kerja keras, cinta damai, penegakan nilai-nilai kebenaran, keadilan, kesetaraan dan kemanusiaan, dll.

Tetapi dengan timbulnya kesadaran itu tidak akan serta merta terwujud ketika hanya dilakukan oleh sebahagian ummat, dengan demikan dibutuhkan kesadaran kolektif ummat untuk membangun kembali peradaban. Paling tidak, kita perlu melakukan konsolidasi/gerakan dalam aspek ekonomi, politik dan social. Konsolidasi ekonomi yang dimaksud adalah melakukan sebuah model pendekatan ekonomi yang saling memberdayakan dan sama-sama menguntungkan serta tidak mempraktikkan ekonomi riba untuk kemandirian ekonomi ummat Islam. Konsolidasi politik adalah membangun bargaining position (nilai tawar) dengan pihak-pihak pemerintah atau politisi partai dengan penguatan sipil/masyarakat dengan peningkatan kesadaran politik masyarakat yang tidak mudah terbeli suaranya oleh orang-orang yang mempunyai kepentingan politik kotor, atau politisi yang terkait dengan kasus korupsi (baca: pencuri) atau masyarakat dapat dengan cerdas melakukan pilihan-pilihan politik pada momentum demokrasi, seperti pemilu atau pilkada atau pilkades. Yang ketiga adalah konsolidasi social atau cultural adalah melakukan perbaikan-perbaikan suprasruktur kebudayaan seperti membangun kembali nilai-nilai agama dan kebudayaan seperti nilai keadilan, kemanusiaan, kesetaraan, kebersamaan, saling mernghormati, dll.

Generasi Rausyan Firkr; Rahim Peradaban

Intelektual dalam terminology Islam sering dibahasakan sebagai rausyan fikr, yakni manusia-manusia yang tercerahkan pikirannya dan bertindak untuk kepentingan ummat yang mempunyai karakter ulul albab, yakni muabbid, mujahid, mujtahid dan mujaddid. Ciri muabbid atau ahli ibadah merupakan identitas yang sangat melekat dengan ummat Islam, seperti sholat, dan ibadah-ibadah yang sifatnya individual, ini dapat dilihat dari gerak kaum muslimin yang tiap tahunnya ke Tanah Haram di Makkah, namun ibadah dalam konteks social (muamalah) yang tidak diperhatikan atau (mungkin) terlupakan, seperti menyantuni kaum duafa/fakir miskin. Mujahid adalah semangat juang yang tinggi dalam sehingga mempuyai pemahaman dan kemampuan berjihad dijalan Allah, perlu dipertegas bahwa berjihad disini sebagai upaya untuk keluar dari sebuah kondisi yang mengungkung diri dan ummat, misalnya kebodohan dan ketertindasan, sehingga melahirkan karya-karya kemanusiaan dan teknologi. Mujtahid merupakan kemampuan berpikir yang tinggi sehingga tindakannya merupakan pilihan yang sadar dari dalam dirinya, bukan karena hanya mengikut atau taklid. Mujaddid atau pembaharu yakni memiliki energi untuk melakukan perbaikan-perbaikan atas kondisi social yang melingkupinya.

Sehingga peran real intelektual muslim menurut penulis adalah, pertama melakukan proses transformasi gagasan pembaharuan dan nilai kepada masyarakat, kedua menjadi penyambung tali silaturrahmi dikalangan ummat, dengan tidak ikut-ikutan mempertegas identitas mazhab (hiper ashabian). Ketiga, bersama ummat/rakyat dalam mengatasi problematika yang dihadapi, Keempat, senantiasa melakukan dialog kebudayaan, peradaban, sehingga tercipta harmonisasi peradaban antara Barat, Islam, Kungfusian, dll

Dengan demikian, peranan masyarakat, cendikiawan/kaum terpelajar, dan ulama harus sinergis untuk menciptakan sebuah kekuatan besar untuk mewujudkan cita-cita tersebut diatas. Ketiga komponen tersebut (masyarakat, cendikiawan dan ulama) harus lebih intensif untuk melakukan pertemuan-pertemuan dan melakukan perbincangan untuk masalah-masalah social dan kemasyarakatan yang melingkupinya dan masa depan ummat.

Terakhir, marilah kita senantiasa mempertanyakan pada diri kita, APAKAH SELAMA INI KITA TELAH BERBUAT UNTUK UMMAT, dan sampai sejauhmana signifikansinya untuk peradaban Islam (masyarakat yang diridhoi Allah) yang kita citakan? Dan apa yang harus dilakukan untuk kemanusiaan?

Asranuddin Patoppoi. Koordinator Badan Pekerja INTRAS Sulawesi.





[Selengkapnya]