Rabu, 30 Januari 2008

Dikala Sekolah Telah Mati

Oleh: Lalu Tuhiryadi

Berbicara tentang fungsi sekolah maka ada banyak rumusan tentang fungsi sekolah namun menurut Benjamin bloom bahwa sekolah, sebagai lembaga pendidikan pada berfungsi mengarap tiga wilayah kepribadian manusia yang disebut sebagai taksonomi pendidikan yaitu membentuk watak dan sikap (afektif domain), mengembangkan pengetahuan (cognitive domain) serta melatih keterampilan (psyikomotorik domain).

Pada umumnya semua orang akan sepakat dengan rumusan yang dikemukakan Bloom. Pada intinya sekolah bertugas membentuk manuasia dalam arti yang sebenarnya yang seutuhnya, karena ketiga hal itulah (watak, pengetahuah dan keterampilan) yang menjadi ciri khas kemanusiaan yang membedakan pribadi seseorang dengan mahluk lain. Oleh karena itu sekolah hanya dapat dikatakan ada dan berhasil ketika nilai-nilai tersebut telah diajarkan yang kemudian dapat di terapkan dalam perilaku keseharian para pendidik dan peserta didiknya, jika semua itu tidak tercapai apalagi tidak diajarkan maka itu berarti bahwa sekolah telah mati.


Lantas bagaimana dengan sekolah yang ada saat ini, apakah nilai-nilai tersebut telah diajarkan? realitasnya sekolah (dalam hal ini guru) yang seharusnya mempunyai tugas dan kewajiban untuk mendidik ternyata hanya sekedar mengajar (setengah hati). Guru seharusnya mengajarkan peserta didiknya tentang realitas yang ada disekelilingnya, dengan begitu sekolah berfungsi sebagai laboratorium untuk mencari pemecahan atas masalah-masalah social yang terjadi dimasyarakatnya sehingga sekolah menjadi dekat dengan relitas masyarakatnya dan tidak menjadi menara yang terpisah dengan realitasnya dan Seharusnya dalam setiap pelaksanaan proses belajar mengajar, materi yang diajarkan mestinya selalu dikontekskan dengan fakta riil kondisi masyarakat yang ada disekelilingnya.

Misalnya ketika guru menjelaskan tentang pelajaran ekonomi maka mestinya dikaitkan dengan kondisi dan problem perekonomian masyarat begitu juga dengan mata pelajaran lain seraya mencoba menganalisis factor-faktor yang menyebabkan kondisi dan problem tersebut terjadi dan jika hal ini dapat dilaksanakan dalam setiap kegiatan proses belajar mengajar maka para peserta didik telah diajarkan tentang bagaiman ia harus memilki kepekaan dan kepedulian terhadap setiap problem social yang dihadapi oleh masyarakat. Dengan demikian sekolah akan menghasilkan orang-orang yang memilki rasa tanggung jawab baik terhadap dirinya maupun masyarakatnya. Akan tetapi faktanya peran-peran tersebut nyaris tak nampak dalam kegiatan proses belajar mengajar karena peserta tidak lagi diajarkan bagaimana ia harus mempunyai rasa empati terhadap berbagai problem social yang sedang terjadi didepan matanya. Para peserta didik justru diajarkan bagaimana menjadi mahluk egois, penuh hasrat materil dan bermental budak yang hanya respek terhadap kepentingan pribadinya saja.

Hal ini terjadi karena dalam kegiatan proses belajar mengajar, aspek yang paling banyak diabaikan ialah sikap, prilaku, kepribadian dan nilai-nilai kemanusiaan. Akibatnya, apa yang menjadi esensi dari pendidikan tidak tercapai dan akhirnya sekolah hanya memproduk manusia yang memiliki kepribadian yang buruk dan jauh dari nilai-nilai kemanusian dan tidak memilki kepekaan dan kepedulian terhadap realitas sosial yang sedang terjadi disekelilingnya.
Hal inilah yang menyebabkan kebanyakan orang yang hanya berfikir tentang dirinya sendiri, tanpa mau peduli terhadap penderitaan serta penzaliman yang dialami orang lain. Jangankan mau peduli terhadap orang lain malahan dialah yang justru menindas dan membodohi orang lain dengan pengetahuan dan keterampilan yang ia miliki.

Ini merupakan suatu hal yang amat memprihatinkan dan jika terus menerus terjadi maka sekolah hanya kan melahirkan manusia-manusia penindas yang memiliki budaya yang serakah dan hasrat besar untuk memangsa orang lain demi kepentingan yang ingin diraihnya. Sehingga jangan heran jika para manusia yang telah bertahun-tahun didik disekolah memilki watak setengah manusia, tak punya belas kasihan serakah dan dalim atau bahkan lebih buruk dari dari binatang. Kita bisa lihat betapa banyak orang-orang yang pada satu sisi telah mendapatkan penghargaan yang luar biasa atas keberhasilannya dalam dunia pendidikan namun disisi lain ia juga memperlihatkan watak, tak punya belas kasihan, serakah srta menindas orang lain sebagai mana wajah yang ditampilkan oleh para penguasa dinegeri kita ini yang tak segan-segan mendzlimi, memeras dan merampas hak-hak rakyatnya. Kalaupun tidak menjadi pejabat/penguasa maka orang-orang yang telah dan sementara dididik sekolah bukannya memiliki watak dan kepribadian yang baik tapi justru sebaliknya. Dalam kehidupan sehari-hari nak-anak sekolah mempunyai kecendrungan yang lebih besar mengunjungi tempat-tempat hiburan, tawuran dijalan, ngisap ganja, kumpul kebo minum-minuman keras dan masih banyak kebiasaan buruk lainnya.

Semua fakta ini membuat kita heran dan bertanya Apa semua itu yang diajarkan oleh sekolah? kalau ia lantas apa makna dan funsi sekolah, apa gunanya sekolah dibangun disana sini dengan bangunan yang megah dan glamour yang dibangun dengan uang yang berasal dari tetesan keringat hasil jerih payah rakyat. Dan kalau jawabanya tidak dimanakah tanggung jawab sekolah untuk mendidik para peserta didiknya untuk menjadi manusia yang sebenarnya sebagaimana fungsi sekolah yang sebenarnya. Apakah sekolah harus lepas tangan, masihkah sekolah mengangkal dan mengatakan bahwa itu bukan kesalahan sekolah?

Kebobrokan yang dipaparkan diatas baru pada aspek kepribadian, lantas bagaimana dengan aspek penegetahuan dan keterampilan? Apakah sekolah telah menjalankan funsinya? Untuk menmukan jawabannya maka kita harus melihat sebenarnya seberapa banyak ilmu dan keterampilan yang dimilki oleh anak sekolah yang memang benar-benar diberikan oleh lembaga pendidikan yang namanya sekolah? Berapa banyak lulusan sekolah yang mempunyai karya yang bersal dari pengetahuan dan keterampilan yang didapat di bangku sekolah? Berapa banyak lulusan sekolah yang dapat diterima langsung bekerja tanpa harus menjalani masa percobaan dan training untuk memberikan pengalaman dan keterampilan? Apakan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang diajarkan hanya sekedar formalitas dan sebagai pelengkap dan embel-embel saja demi memenuhi ketentuan kurikulum resmi yang berlaku? Kalau jawabnya tidak lalu kenapa banyak sarja yang telah bertahun-tahun duduk disekolah tidak memiliki pengetahuan dan keterampilan sehingga tak mampu berbuat apa-apa dan hanya jadi pengangguran. Kalaupun ia dapat memperoleh pekerjaan maka pekerjaannya tiodak relepan dengan pengetahuan dan keterampilan yang ia geluti disekolah. Betapa tidak sarjana hukum memilih jadi pejabat, sarjana ekonomi jadi artis sarjana bahasa jadi atlet sarjana pertanian jadi wartawan.

Kondisi sekolah saat ini sudah sedemikian parah, karena sekolah ternyata tidak mampu menjalankan peran dan fungsinya sebagai institusi pendidikan untuk mendidik manusia menjadi manusi yang memilki kepekaan dan kepedulian social serta tanggungjawab dalam menciptakan masyarakat yang sejahtara dan berkeadilan social. Belum lagi dengan penomena sekolah yang dari waktu-kewaktu menjadi semakin mahal akibat pengelolaan institusipendidikan yang melenceng mengakibatkan sekolah dikelola bak perusahaan yang hanya lebih berorientasi bisnis (komoditas) sekolahpun menjadi kian mahal, akibatnya akses masyarakat terhadap pendidkan menjadi semakin kurang khususnya bagi rakyat miskin menjadikan sekolah hanya dapat dinikmati oleh orang-orang yang punya kemampuan pinansial sementara kaum miskin hanya menjadi penonton dinegerinya sendiri dan bagi mereka sekolah hanya menjadi barang mewah yang mustahil mereka jagkau. Padahal seharusnya pendikan menjadi sarana bagi mereka untuk mencerdaskan diri dan untuk memperbaiki tarap hidupnya namun ternyata itu hanya menjadi angan-angan semata.

Kita bisa melihat berbagai macam praktek-praktek bisnis yang dijalankan oleh institusi pendidikan mulai dari menaikkan biaya spp, uang pangkal dan pungutan-pungutan lain yang sangat mebebani para orang tua peserta didik mulai dari ratusan ribu hingga pulahan bahkan sampai ratusan juta. Semua itu semakin mempertegas bahwa sekolah benar-benar telah menjadi komoditas bisnis untuk meraup keuntungan bagi penentu kebijakan pada setiap intritusi pendidikan. Sehingga kita tidak perlu heran jika setiap awal tahun ajaran baru, masyarakat Indonesia, terutama orang tua siswa selau diresahkan oleh mahalnya biaya pendidikan anak-anaknya yang kian mahal. Sebuah taman kanak- kanak swasta di Jakarta, saja ada yang memungut uang masuk Rp 20 juta. Hal serupa terjadi untuk sekolah dasar, sekolah lanjutan tingkat pertama, sekolah menengah umum, dan perguruan tinggi yang termasuk dalam perguruan tinggi badan hokum milik negara. Yang menyebabkan kenaikan biaya pendidikan dirasakan meningkat tajam dibanding tahun-tahun sebelumnya.

Padahal sesungguhnya betapa besar harapan para orang tua yang menyekolahkan anaknya agar anaknya kelak menjadi manusia yang berguna bagi dirinya dan bangsanya walau dengan ongkos yang begitu banyak. Namun ternyata para orang tua tersebut telah diperas oleh institusi pendidikan yang berkedok pendidikan. Celakanya ongkos yang telah dikeluarkan utuk membiayai pendidikan tidak sebanding dengan apa yang didapatkan dari dunia pendikan.
Lalu bagaimana pula dengan implementasi UndangUndang Dasar 1945 yang memberi kesempatan kepada setiap warga negara Indonesia untuk memperoleh pendidikan layak? Siapa yang dapat renjamin adanya pemerataan dan keadilan dalam proses pendidikan.? Apakah pemerintah? Sementara kita sendiri mengetahui bahwa pemererintah yang diberi amanah sebagai penagggung jawab tuggal atas terselenggaranya pendiikan bagi rakyatnya secara merata tanpa ada perlakuan diskriminasi justru sampai saat ini belum menjalankan amanah tersebut karena anggaran pendidikan 20% sampai saat ini belum direalisasikan. Bahkan disaat mereka belum menjalankan tanggung jawabnya mereka justru merancang UU BHP yang tiada lain sebagai alat bagi pemerintah untuk melepaskan tanggung jawabnya sebagai penyelenggara pendidikan.

Sebenarya scenario ini telah lahir sejak 7 tahun yang lalu. Ditandai dengan munculnya PP no 60 Th 1999 tentang penetapan perguruan tinggi sebagai Badan Hukum. Artinya ada pergeseran status dan identitas PTN secara signifikan. Sehingga pada Th 2000 di empat kampus yang dianggap sebagai kampus terbesar di Indonesia resmi mengenakan baju BHMN yaitu UGM, UI IPB dan ITB dan terakhir UPI dan USU. Sebagai implementasi dari kebijakan tersebut, dan setelah melewati masa percobaan selama lima tahun menyebabkan terjadinya lojakan kenaikan biaya secara drastis yang tidak dibarengi dengan peningkatan kualias yang signifikan. di UGM misalnya melalui SK rector no 13/2004, mahasiswa diharuskan membayar uang kuliah berdasarkan jumlah SKS yang sanagat mahal yaitu Rp 60.000 sampai RP 75000/SKS. Belum lagi ditambah uang SPP dari Rp 500.000 hingga 750.000/semester serta munculnya pungutan lain berupa sumbangan peningkatan mutu akademik(SPMA) yang besarnya bervariasi dari Rp 0 hingga Rp 20 Juta.

Hal serupa juga terjadi Dengan modus yang berbeda yaitu SBPT sebesar Rp 0 sampai 650.000/semester ditambah sumbangan untuk setiap mahasiswa baru senilai 5 Juta. Sedangkan di UI mahsiswa baru harus membayar uang pangkal sekitar Rp 5-10 Juta belum termasuk pembengkakan SPP. Belum dengan jurusan-jurusan popular yang dikomersilkan mulai dari puluhan juta sampai ratusan juta yang juga terjadi pada Fakultas kedokteran UNHAS.
Dengan mencermati fakta diatas maka tak dapat dipungkiri bahwa betapa pendidikan telah berubah menjadi komoditas bisnis yang diobral kepada orang-orang yang punya kemampuan financial sementara rakyat miskin menjadi tidak punya kesempatan dan semakin termarjianalkan. Oleh karena itu betapaun pemerintah mengelak dan mencari pembenaran bahwa BHMN/ BHP bertujuan untuk meningkatkan kualitas pendidikan namun fakta riil menunjukkan bahwa BHP/BHMN hanyalah media mencari uang. Sementara peningkatan kualitas yang mereka maksudkan hanyalah kedok dan sarana untuk melepaskan tanggungung jawabnya sebagai penyelenggara pendidikan.

Lalu Tuhiryadi. Anggota Badan Pekerja INTRAS Sulawesi. Saat ini masih kuliah di Fakultas Teknik Universitas Negeri Makassar (UNM).

[Selengkapnya]

Kamis, 18 Oktober 2007

Otokritik Penguatan Demokrasi Lokal dengan Pilkada

Oleh: Akmal Nur

Lahirnya Undang – undang tentang otonomi daerah telah membawa harapan bagi bangsa Indonesia tentang sistem kekuasaan yang dulunya sangat terpusat atau sentralisasi menuju desentralisasi. Pelaksanaan otonomi daerah telah menjadi konsumsi ditiap daerah dalam mendorong lahirnya sebuah sistem demokrasi yang belakangan dikenal dengan demokrasi lokal. Berbagai tindakan riil dapat kita lihat dari otonomnya pelaksanaan pemerintahan, pemekaran daerah, pelaksanaan pemilihan kepala daerah secara langsung dan lain-lain. Hal-hal tersebut paling tidak telah membawa masyarakat pada sebuah pembelajaran politik dalam berdemokrasi sekaligus menimbulkan efek-efek sosial yang tidak diinginkan, ini disebabkan karena kesiapan rakyat akan demokrasi masih dalam tahapan pembelajaran.

Secara sederhana demokrasi dapat dimaknai sebagai sebuah sistem politik yang berupaya untuk mengantarkan keputusan-keputusan politik secara partisipatif oleh individu-individu yang mendapatkan kekuasaan melalui persaingan yang adil (fairness competition) dalam memperebutkan suara rakyat. Adapun demokrasi itu telah mewarnai pertarungan politik ditingkat lokal yang melahirkan desentralisasi politik, sehingga pertarungan kepentingan dalam aras lokal dapat terjadi sewaktu-waktu yang dapat menimbulkan prilaku-prilaku kontradiksi sosial yang secara riil dapat kita lihat dalam berbagai kasus-kasus konflik dan kekerasan pada tingkat lapisan masyarakat.


Berbagai kasus kemudian muncul dalam pelaksanaan demokrasi lokal ini, kasus pemekaran daerah diberbagai tempat yang melahirkan konflik sosial atau kerusuhan massa. Masih ada dalam ingatan kita tentang pemekaran daerah Polewali Mamasa dan baru-baru ini pemindahan ibukota banggai Sulawesi Tengah, serta berbagai kasus-kasus lain. Belum lagi perkelahian antara pendukung calon pemerintah daerah dalam pilkada diberbagai penjuru tanah air. Kesemuanya itu telah mewarnai pelaksanaan demokrasi lokal. Efek tersebut menimbulkan dua persepsi. Pertama kasus tersebut dilihat dari persepsi epistimologi sehingga dinilai sebagai sebuah kewajaran mengingat masyarakat juga yang akan diuntungkan adapun efek dari hal tersebut itu karena masyarakat dalam tahapan meraba-raba demokrasi yang selama ini di simpan di gudang istana orde baru. Dan persepsi yang kedua dilihat dari konteks aksiologi menganggap hal ini sebagai suatu hal yang tidak wajar karena yang selalu menjadi korban dari penegakan demokrasi adalah rakyat dan yang diuntungkan adalah elit-elit politik lokal. Sehingga dalam mencermati hal tersebut paling tidak kita harus melihat harapan dan kenyataan pelaksanaan demokrasi lokal, sehingga dalam memandang persolan tersebut kita terjebak pada kedua persepsi yang ada.

Harapan
Pelaksanaan demokrasi lokal diharapkan dalam bentuk pertama dapat menjadi harapan rakyat dalam memajukan daerahnya masing-masing. Sehingga tidak ada lagi kecemburuan sosial yang selama ini terjadi de era orde baru. Dimana pembangunan tidak merata diseluruh penjuru tanah air. Terdapat daerah yang kaya sumberdaya alam akan tetapi memiliki penduduk yang tidak berkembang sebut saja Papua daerah yang setiap harinya menghasilkan berton-ton emas tetapi penduduknya sampai sekarang masih menggunakan koteka. Serta berbagai daerah lain yang memiliki nasib yang sama. Dengan adanya peluang demokrasi lokal yang lahir dari kebijakan otonomi daerah diharapkan dapat mengatasi itu semua. Kedua Dengan penguatan demokrasi lokal diharapkan dapat menjadi kanter lapis kedua terhadap hegemoni pihak asing dalam melakukan infasi ekonomi dan budaya. Kuatnya pengaruh asing dalam konteks sekarang ini mengharuskan kekuatan struktur kenegarahan dalam posisi pertahanan yang lebih kokoh. Hadirnya pemerintah daerah yang otonom dalam mengurusi daerahnya, mempunyai peluang yang sangat besar dalam menentukan kebijakan yang dapat mengkanter infasi bangsa asing. Kebijakan perekonomian misalnya dapat diatur dalam peraturan daerah (PERDA) yang dapat menguntungkan rakyat secara umum. Ketiga Dengan penguatan demokrasi lokal diharapkan peluang akan kesadaran politik masyarakat semakin besar. Dimana akses-akses untuk menyampaikan aspirasi politik semakin jelas. Hal ini berbeda pada zaman orde baru dimana daerah tidak terlalu banyak merealisasikan keinginan masyarakat karena harus mendapat persetujuan dari pemerintah pusat. Keempat pelaksanaan demokrasi lokal diharapkan mampu melahirkan pemimimpin daerah yang memiliki legitimasi politik masyarakat yang kuat dengan adanya pelaksanaan pemilihan kepala daerah secara langsung (PILKADA).

Kenyataan
Implementasi demokrasi lokal tidaklah sepenuhnya sesuai dengan yang diharapkan, justru dampak yang kita lihat semakin memperburuk tatanan sosial masyarakat yang selama ini hidup secara damai dan tentram. Salah satu contoh adalah pelaksanaan PILKADA (Pemilihan Kepala Daerah) secara langsung. Hampir di berbagai daerah Indonesia dalam menyelenggarakan pilkada diwarnai konflik dan kerusuhan dari pihak yang kalah dan menang dalam pelaksanaannya. Bahkan tak jarang kita menyaksikan diberbagai media aksi kekerasan yang dilakukan menimbulkan berbagai korban jiwa. Menyalahkan masyarakat yang melakukan aksi tersebut bukanlah hal yang sepenuhnya benar, karena sekali lagi aksi yang dilakukan masyarakat terjadi karena ketidaktahuannya terhadap apa yang mereka lakukan, mereka hanyalah boneka-boneka yang dipermainkan oleh elit-elit politik ditingkat lokal. Tak jarang juga kita saksikan berbagai praktik politik busuk dipraktikkan dalam pelaksanaan demokrasi tersebut seperti politik uang, penggelembungan suara, pembusukan nama calon dan sebagainya. Hal itu wajar terjadi pada pelaksanaan demokrasi di Indonesia karena menurut iblis di negeri ini tidak ada yang gratis dan politik memang tidak mengenal salah dan benar tetapi semuanya benar.

Salah satu fakta lagi yang dapat kita saksikan dari besarnya dampak pelaksanaan demokrasi lokal adalah lahirnya elit-elit baru atau penindas baru ditingkat lokal. Beberapa daerah yang telah melaksanakan salahsatu pesta demokrasi (Pilkada), serta menerapkan konsep otonomi daerah secara prosedural justru merasakan kondisi yang sama dengan sebelum pelaksanaan tersebut, bahkan sebahagian daerah memiliki kondisi yang lebih buruk, hal ini sungguh bertentangan dengan tujuan demokrasi itu sendiri yang ingin memberikan keamanan, kesejahteraan dan keadilan kepada masyarakat kita bisa menyaksikan dari pertumbuhan kemiskinan yang semakin hari semakin melonjak di beberapa daerah, kekerasan massa yang sewaktu-waktu dapat meledak baik setelah pilkada maupun sebelumnya. Semua itu disebabkan karena desentralisasi kekuasaan dimanfaatkan oleh pemerintah daerah untuk menjadi penindas-penindas baru ditingkat lokal baik itu sebagai pemain politik busuk untuk melayani kepentingan pribadinya maupun untuk menghamba kepada kepentingan para pemodal yang telah membiayai kampanye politiknya, sehingga rakyatlah yang harus menanggung itu semua.

Di Mana Posisi Kaum Intelektual? 
Mengharapkan peran kaum intelektual dalam setiap problem kebangsaan adalah sautu hal yang harus kita lakukan, karena bagaimanapun perjalanan bangsa Indonesia tidak dapat dilepaskan dari peran kaum intelektual. Namun dalam konteks sekarang ini intelektual itu bukanlah suatu hal yang sangat diharapkan karena justru yang menghancurkan juga negeri ini adalah kaum intelektual juga. Sehingga kita harus membedakan antara intelektual picisan dan intelektual organic. Begitupula dalam konteks kemahasiswaan yang selama ini disebut bagian orang-orang intelektual atau idealis, justru sebahagian besar adalah pelacur-pelacur intelektual di negeri ini. Kalau yang ada di tempat lokalisasi, mungkin hanya maaf menjilat pantat-pantat pejabat yang datang akan dan tidak terlalu merugikan kepentingan umum akan tetapi pelacur intelektual sudah menjelit pantatnya pejabat malah merugikan lagi rakyat.

Dalam pelaksanaan pilkada misalnya, tidak sedikit orang-orang intelektual bahkan mahasiswa yang terlibat menjadi team sukses yang nyata-nyata diketahui bahwa politik yang dilaksanakan adalah politik busuk sebagaimana indikator di atas. Belum lagi aksi-aksi yang mereka lakukan justru mendukung kebijakan pemerintah daerah yang melakukan pemerasan terhadap rakyat. Hal ini justru menyurutkan harapan kita akan peran kaum intelektual atau mahasiswa dalam perbaikan pelaksanaan demokrasi lokal. Sedikit untuk mengurangi kejengkelan kita mengatakan bahwa wajar negeri ini banyak pelacurnya intelektualnya, negaranya sendiri adalah Negara pelacur intelektual, lihat saja pemerintah telah menyetujuai resolusi PBB tentang sanksi iran yang telah menjilat pantat AS.

Akan tetapi tumbuhnya api perlawanan intelektual atau mahasiswa organic yang minoritas itu adalah harapan kita semua. Pertama kita masih mengharapkan kepada mereka akan pengawalannya terhadap pelaksanaan demokrasi lokal, paling tidak dengan senantiasa mengungkap dan mendiskusikan kebusukan-kebusukan politik yang ada pada lokalitas daerahnya masing-masing. Dari diskusi itulah pengawalan akan harapan demokrasi lokal dapat kita manfaatkan menjadi peluang untuk mewujudkan tatanan masyarakat yang berkeadilan, dengan berusaha meminimalisir segala efek yang ada. Kedua kita juga masih mengharapkan adanya sikap kelembagaan mahasiswa kalau memang orang-orang yang duduk disana belum terkontaminasi oleh penguasa lokal yang menindas, untuk mengambil sikap yang jelas terhadap kepemihakan terhadap rakyat. Paling tidak menjadi motifator, inspirator, katalisator, dan profokator kalau perlu. Kita tunggu saja.

Akmal Nur. Anggota Badan Pekerja INTRAS Sulawesi. 

[Selengkapnya]

Sekali Merdeka, Tetap Tidak Merdeka!

Oleh: Abdullah

Peringatan hari ulang tahun kemerdekaan RI setiap tahun yang dilaksanakan pada tanggal 17 Agustus 1945 merupakan ritualitas yang tidak bermanfaat bagi bangsa/negara dan masyarakat indonesia. Peringatan hari kemerdekaan tersebut merupakan seremonial belaka yang seolah-olah bangsa indonesia membangun image kepada rakyat indonesia sudah merdeka sebagai mana yang tercantum dalam UUD 1945. berbagai persoalan yang melanda negeri ini akibat tidak lepas pengaruh skenario global dalam menjajah secara halus bangsa indonesia baik dalam bidang ekonomi, sosial, budaya, politik. Kita tidak menemukan kearifan bangsa indonesia sebagai bangsa yang merdeka dalam menghadapi dinamika dan tantangan zaman diera modernisasi.

Sementara aparatus negara kita tidak sadar akan keberadaan negara dibawah cengkraman kapitalisme neo-liberal. Sementara pemerintah kita hanya bisa mengumandangkan kata slogan kemerdekaan setiap tahun!. Tetapi esensi dari kemerdekaan belum kita memahami secara mendalam apa arti kemerdekaan yang sesungguhnya. Tetapi kita tidak sadar apa yang dilaksanakan oleh mereka setiap tahun itu tidak mencerminkan nilai-nilai luhur bangsa indonesia sebagai bangsa merdeka. hanya sekedar menjalankan rutinitas seremonial belaka dalam mengingat kembali masa lalu bangsa indonesia dengan kegiatan yang bersifat hura-hura.


Kata kemerdekaan menjadi kata yang tidak bermakna bagi bangsa dan masyarakat indonesia. Semakin hari kondisi bangsa indonesia semakin terpuruk, berbagai macam problem yang muncul dalam realitas sosial masyarakat kita tidak mampu dijawab oleh pemerintah seperti pendidikan, kesehatan, kemiskinan, dan pengangguran. semestinya pemerintah harus menafsirkan dan merefitalisasi kembali kata kemerdekaan bangsa indonesia dimasa akan datang menjadi bangsa yang jujur dan bermartabat. Disisi lain mentalitas dan karakter bangsa indonesia masih menampakkan karakter yang menindas dan merugikan kepentingan orang banyak seperti tumbuh suburnya KKN dalam sistem pemerintahan. Kondisi bangsa indonesia mengalami stagnasi ditengah hantaman arus modernisasi, dan liberalisasi zaman. Menurut Yudi Latif dimasa akan datang bangsa indonesia ada kekhawatiran/kecenderungan terancam disintegrasi NKRI. Sebab wawasan kebangsaan masyarakat indonesia semakin pudar akibat persoalan bangsa/negara semakin terpuruk akan mengabaikan kepedulian dan kepentingan rakyat. seperti kasus Timur-Timur lepas dari NKRI akibat lemahnya wawasan kebangsaan masayarakat, lemahnya diplomati politik internasional dan kuatnya intervensi asing dalam mengancam kestabilan wilayah NKRI.

Sekarang muncul lagi Maluku selatan, Aceh, Papua meneriakkan wacana disintegrasi dari NKRI, kalau sudah begitu tidak menutup kemungkinan daerah lain juga punya potensi akan melakukan hal yang sama seperti mereka. selama ini dominannya peran pemerintah pusat dalam mengatur sumber daya alam daerah, sementara daerah mereka mendapatkan hasil kekayaan alamnya sedikit dan cenderung dimarginalkan. Era reformasi melahirkan otonomi daerah juga tidak membawakan hasil yang signifikan bagi kemajuan daerah. Yang justru melahirkan kecenderungan primodialisme dan fanatisme kedaerahan.

Perubahan paradigma kebijakan dari sentralisasi ke desentralisasi hanya secara prosedural formal tetapi secara praktiknya justru memunculkan kekuatan-kekuatan baru ditingkat daerah. Arus perubahan pun ditingkat daerah selalu dihambat oleh kekuatan-kekuatan yang dominan, sehingga kekuatan minoritas diganjal dan tidak mendapatkan akses dalam pemerataaan pembangunan baik fisik maupun non fisik.Negara cenderung menerapkan politik dominasi dan hegemoni dalam menundukkan masyarakat sipil. Seolah-olah pemerintah mengklaim diri memiliki otoritas yang besar dalam mengatur kebijakan negara dan masyarakat sipil selalu dimarginalkan oleh kebijakan negara dalam hal ini pemerintah. state dan sipil society diindonesia selalu menempatkan posisi yang berbeda dalam kerangka negara. Ada pendikotomian pemerintah dalam memandang sipil, yang seolah-olah masyarakat sipil lepas dari kerangka masyarakat negara. Menurut Anthoni Gramscy masyarakat negara dan masyarakat sipil tidak ada perbedaan tetapi penempatan posisi saja yang berbeda antara pemerintah dan masyarakat sipil. Masyarakat sipil melakukan pembangkangan terhadap negara yang selama ini mendominasi dalam mengambil peran-peran masyarakat.

Negara mengalami pelemahan akibat negara tidak mampu menjawab persolan-persoalan sosial kemasyarakatan. Disisi lain kuatnya pengaruh neoliberalisme dalam mengintervensi peran negara. Akhirnya negara mengalami ketergantungan besar terhadap negara-negara maju. Akibat ketergantungan tersebut negara tidak memiliki kekuatan untuk melawan kapitalisme neo-liberal. Dan akhirnya aset-aset negara untuk kebutuhan masyarakat di privatisasi, liberalisasi pasar, dan deregulasi kebijakan sesuai dengan pesanan dari negara-negara pendonor. Semestinya kita bisa belajar dari sejarah masa lalu bangsa indonesia dimana pada saat itu dijajah oleh kolonialisme belanda ratusan tahun, hampir semua kekayaan alam indonesia dikuasai oleh belanda. Begitu pahitnya kehidupan para nenek moyang kita untuk memperjuangkan negara indonesia dari cengkraman kolonialisme belanda. Sadar atau tidak kita masih dijajah kehidupan kita hari ini baik dari segi ekonomi, sosial budaya, politik, dan lain-lain sebagainya. Sementara kita hanya bisa berteriak tentang kemerdekaan bangsa indonesia.

Karakter bangsa yang merdeka tidak ditemukan dalam negara indonesia, ada sesuatu yang hilang dari bangsa kita hari ini belum kita temukan. inilah ciri fenomena bangsa yang belum merdeka dari keterkungkungan bangsa-bangsa lain. Semestinya kita sedih melihat perjalanan bangsa indonesia dari hari kehari semakin merosot auranya. Ketika kita melihat masyarakat indonesia dari sabang sampai merauke selalu akan muncul pertanyaan kita tentang kepedulian negara dalam menjawab fenomena kemiskinan, kelaparan yang melanda masyarakat indonesia. Banyak saudara-saudara kita yang mengalami hal seperti itu. sementara mereka juga manusia membutuhkan bantuan dalam menyelamatkan kehidupan. Kelaparan dan kemiskinan bukan karena takdir dari Tuhan yang maha esa, tapi ada kondisi sosial yang membuat mereka akan mengalami hal seperti itu. Kalau negara tidak memiliki formasi sosial yang jelas maka otomatis akan terjadi kesenjangan sosial dalam kehidupan berbangsa dan bernegara seperti yang dialami masyarakat indonesia.

Sementara silih bergantinya kepemimpinan tidak di iringi dengan suasana perubahan wajah bangsa indonesia. Yang berubah hanyalah orang-orangnya tetapi karakter dari sebuah bangsa tidak akan berubah ketika kita tidak melakukan pemotongan karakter dan mentalitas bangsa yang korup. Saya tidak yakin dengan perubahan diindonesia kalau model dan sistem kenegaraan kita masih menganut sistem peninggalan orde baru. Sejalan dengan derasnya arus reformasi yang ditandai runtuhnya kekuasaan rezim orde baru pada tanggal 21 ei 1998. menadakan kuatnya pengaruh rezim soeharto dalam membentuk karakter bangsa indonesia. Agenda reformasi gagal dalamb menuntaskan watak-watak orde baru dalam sistem pemerintahan. Kilas balik sejarah reformasi pada tahun 1998 menandakan kemenangan bagi kaum muda dalam mengawal indonesia di era transisi kepemimpinan. Kuatnya arus titik balik dari reformasi justru membuka peluang bagi kekuatan lama dalam mendominasi sistem pemerintahan indonesia.
Yang justru sekarang ada kemungkinan besar ORBAISME tumbuh subur dinegara indonesia, walaupun soeharto tidak memegang tampuk kekuasaan.

Kondisi bangsa mengalami kekacauan dalam segala aspek kehidupan berbangsa dan bermasyarakat. Kondisi sosial, ekonomi, budaya, politk pun masih menandakan model yang dianut oleh sistem pemerintah orde baru, walaupun kita sudah menumbangkan rezim otoriter tersebut. Tetapi kenyataan yang terjadi dilapangan masih didominasi oleh orang-orang lamu walaupun mereka memakai baju yang baru bernama reformasi. Situasi politik pun tidak ada perubahan dalam tubuh partai politik. Partai politik selalu memproduksi hasrat dan libido politik kekuasaan demi kepentingan pribadi dan kepentingan institusi kepartaian. Sehingga segregasi partai politik sebagai perpanjangan dari rakyat untuk memperjuangkan kepentingan rakyat dalam pemeintahan mandul. Karena partai lahir bukan atas dasar kepentingan orang banyak, tetapi dia hadir sebagai wadah dalam mencari popularitas dan kekuasaan. Fenomena yang terjadi di lembaga legislatif kita sangat di pengaruhi oleh situasi politik kepentingan. Itu tergantung dari partai mana yang dominan dalam mempengaruhi Pergolakan situasi politik. Apakah itu partai islam atau non partai islam kenyataannya hampir sama yang justru menipu rakyat dengan memakai baju agama. Kita melihat kenyataan tidak sedikitpun partai politik yang berlabelkan islam, akan tetapi simbol tersebut tidak dinampakkan sebagai mana ajaran agama Islam.

Kemenangan AS dengan Demokrasi Liberal
Sebagaimana teorinya Francis Fukuyama dalam bukunya The End Of History And The Last Man. Runtuhnya Unisoviet Menandakan kemenangan kapitalisme dengan demokrasi liberal dalam menentukan percaturan politik didunia. Seolah-olah amerikalah sebagai negara representasi dunia yang menerapkan demokrasi dalam pemerintahan. Keberpihakan pemikiran Francis Fukuyama dalam bukunya tersebut tidak lepas dari politik representasi AS dalam mendominasi negara dunia ketiga. Katankalah negara indonesia adalah salah satu contoh negara yang tidak lepas dari kendali AS dalam menentukan kebijakan baik dalam negeri maupun luar negeri. Termasuk sistem yang diterapkan indonesia adalah sistem demokrasi prosedural. Seolah-olah pemerintah mengatakan negara indonesia sudah maju, karena indonesia sudah menerapkan demokrasi. seperti pemilihan langsung Presiden dan Wakil presiden tahun 2004 sebagai indikator atau tolak ukur dari keberhasilan demokrasi.

Pemilu langsung tahun 2004 adalah sebuah bentuk manipulasi dari demokrasi prosedural dalam mendapatkan kursi kekuasaan. itu hanya merupakan bentuk pesta pora dan tawar menawar dalam merebut kursi kekuasaan. Hasil dari pemilu langsung tahun 2004 tidak membawakan hasil yang signifikan bagi proses pembelajaran masyarakat. walaupun disudah dilegitimasi dengan Undang-Undang Dasar 1945. Pertanyaannya adalah benarkah negara indonesia sudah menerapkan demokrasi dan model demokrasi seperti apakah yang diterapkan. Kalau dirunut dari sejarah berdirinya bangsa indonesia, maka akan muncul pertanyaan yang mendasar apakah selama ini peranan bangsa indonesia dalam mensejahterakan rakyat.

Abdullah. Anggota Badan Pekerja INTRAS Sulawesi. Peneliti kesehatan masyarakat. 


[Selengkapnya]