Senin, 23 Juli 2007

Mempertanyakan Kembali Makna Nasionalisme

Oleh: Akmal Nur

Akhir-akhir ini kita kembali mendengarkan dan melihat di berbagai media tentang adanya tindakan yang dianggap separatis oleh beberapa oknum di dua daerah kawasan timur Indonesia yaitu maluku dan papua. Aksi ini dilakukan secara terang-terangan di depan public. Di Maluku misalnya dilakukan pengibaran bendera RMS (republik maluku selatan) pada sebuah acara yang dihadiri kepala Negara di negeri ini. Berselang beberapa hari, aksi serupa di pertontonkan pengibaran bendera bintang kejora OPM (organisasi papua merdeka) di sela-sela acara pertemuan dewan adat papua. Pengibaran bendera tersebut merupakan tindakan yang sangat berani yang dilakukan oleh penari- penari adat di daerah tersebut.

Tindakan tersebut menuai kecaman dari berbagai pihak, termasuk dari penduduk daerah tersebut. Aksi tersebut dinilai sebagai tindakan yang mengancam kedaulatan Negara kesatuan republic Indonesia (NKRI), sehingga pelakunya harus diproses secara tegas lewat jalur hokum. Baik itu terlibat secara langsung maupun tidak langsung. Pengusutan kasus ini sudah mulai berjalan, beberapa orang yang dianggap terlibat sudah mulai diperiksa oleh petugas yang berwenang. Namun kecaman dari berbagai pihak tetap marak di lakukan di berbagai daerah yang katanya memiliki semangat nasionalisme yang tinggi. Di ibukota berbagai masyarakat yang berasal dari daerah maluku mengecam tindakan tersebut, begitupula aksi mahasiswa di Makassar yang tindakan serupa dengan membakar bendera RMS.


Akan tetapi ditengah kecaman dari berbagai elemen masyarakat, dukungan juga tidak sertamerta menghilang. Beberapa mahasiswa asal papau di daerah istemewa yogyakarta melakukan aksi demonstrasi menuntut refrendum atas tanah papua yang selama beberapa tahun dibawah penjajahan bangsa Indonesia. Ini mengindikasikan bahwa kata kemerdekaan bagi mereka tidak lagi menjadi kata yang harus disembunyikan dalam hati sanubari sebahagian rakyat di daerah tersebut, begitu pula symbol-simbol seperti bendera sudah mereka tunjukkan kepada public, bahkan di depan mata seorang kepala Negara seakan-akan ingin memperlihatkan bahwa mereka sudah lelah terjajah. Tindakan yang hampir sama dilakukan oleh pejuang NKRI pada penjajah colonial belanda dimasa yang lampau.

Makna nasionalisme

Aksi yang dilakukan OPM di papua dan RMS di maluku merupakan indicator bagi sebahagian orang untuk menilai hilangnya semangat nasionalisme, hilangnya kecintaan terhadap NKRI serta hilangnya rasa persatuan dan kesatuan bangsa. Memunculkan identitas kelompok kedaerahan yang diiringi dengan keinginan untuk merdeka merupakan langkah-langkah yang dianggap dapat mengancam ketahanan nasional dan dianggap maker, sehingga harus dicegah dengan pola pendekatan meliteristik.Maka sebuah kewajaran ketika setelah aksi tersebut, para petinggi militer dinegeri kebakaran jenggot akibat tidak mau ketinggalan dalam mempertahankan keutuhan Negara, walaupun sudah beberapa kali kecolangan termasuk pada aksi sebagaimana diatas.

Mempertanyakan kembali makna nasionalisme dalam konteks dewasa ini seakan sudah menjadi kewajiban kita bersama sebagai orang yang mengaku berbangsa, berbahasa dan bertanah air satu, tanah air indoneisia. Benarkah penduduk Indonesia telah mengalami degradasi dalam diri masing – masing tentang sebuah faham nasionalisme, sehingga tindakannya seakan –akan sudah tidak mengakui lagi sumpah pemuda. Ataukah nasionalisme itu sendiri adalah sejenis paham kolonialisme dizaman tempo dulu yang berubah wujud. Entah apa namanya, yang jelas tindakan yang dilakukan di aceh pasca perjanjian Helsinki dan kasus terbaru sebagaimana diatas telah mengusik diri kita sebagai sebuah bangsa yang katanya berbhineka tunggal ika Walaupun tindakan yang dilakukan diatas merupakan suatu hal yang sifatnya kasuistik tetapi perlu mendapat apresiasi dalam wacana lebih lanjut, mengingat hal tersebut sangat sensitive dalam interaksi sosial masyarakat.

Nasionalisme secara sederhana dapat dimaknai sebagai kesadaran sosial masyarakat untuk bersama hidup dalam sebuah teritorial tertentu dalam mencapai kesejahteraan, ketentraman dan kedamaian. Defenisi inilah menjadi awal terjadinya kontrak sosial dalam membangun negeri ini, sebagaimana tertuang dalam pembukaan UUD 45 alinea terakhir dan dalam pasal – pasalnya yang lain. Kesamaan secara historical, tujuan dan cita – cita akan kehidupan yang lebih baik mendorong penduduk di berbagai daerah di negeri ini membentuk Negara kesatuan bangsa Indonesia. Sehingga impian para pahlawan negeri ini, bahkan impian kita bersama bahwa kita semua akan sejahtera baik secara fisik maupun nonfisik jika bersama membentuk satu Negara kesatuan yaitu Indonesia.

Menjadi problem ketika indikasi akan sebuah tujuan dan cita – cita semakin menjauh dari kenyataan kehidupan masyarakat. Jumlah kemiskinan yang mencapai setengah penduduk, pengangguran yang semakin membengkak, perampasan hak milik dari kuat kepada yang lemah, saling membodohi antara penduduk yang cerdas dan yang kurang cerdas, serta fenomena – fenomena sosial lain yang aneh – aneh. Dalam kondisi seperti itu benarkah sikap nasionalisme tetap di pertahankan. Secara subtansial kehidupan masyaraka kiranya kita perlu mempertanyakan adakah perbedaan mendasar tentang makna keadilan sosial yang terjadi dizaman colonial dengan zaman yang dialami bangsa Indonesia sekarang ini. Seiring dengan pertanyaan tersebut, masihkah nasionalisme menjadi titik acuan untuk menilai tindakan dan aksi yang dilakukan penduduk yang menginginkan sebuah kemerdekaan di sebuah daerah. Tentu dengan membandingkan antara harapan dan jauhnya kenyataan akan harapan tersebut, dapat dikatakan bahwa nasionalisme tidak akan pernah hadir dalam diri masyarakat pada situasi sosial yang tidak adil sekarang ini. Sehingga menjadi kesalahan besar bagi kita semua untuk menjadikan ukuran dan indicator semangat nasionalisme dalam menyalahkan mereka yang menginginkan keluar dari NKRI.

Keluar dari Lingkaran Setan

Akan tetapi apa yang dilakukan oleh OPM dan RMS tidak juga sepenuhnya dapat dibenarkan jika dilihat dari strategi perjuangan. Kita mengetahui bahwa kepentingan sesaat masih banyak bermain, pengaruh laur masih butuh kajian lebih lanjut dan yang lebih penting adalah bahaya kekuatan penjajah yang lebih besar dalam skala global. Semuanya itu, semestinya menjadi pertimbangan yang lebih matang sebelum menyatakan diri untuk hidup sendiri. Karna diketahui bersama kemandirian suatu bangsa harus didukung oleh perencanaan dan pertimbangan baik itu dalam segala bidang sosial, politik, ekonomi dan budaya.

Bolehjadi pepatah yang mengatakan keluar dari mulut buaya masuk kedalam mulut harimau dapat di asumsikan pada keadaan kelompok – kelompok yang menginginkan kemerdekaan, sehingga yang terjadi kemudian adalah lingkaran setan yang diketahui kapan akan berakhir. Kondisi global yang sangat kacau ditambah kondisi nasional yang tidak kalah kacaunya membuat penduduk yang tinggal di dalam negeri ini mengalami kondisi yang dilematis. Bolehjadi sekarang, kita merasa di jajah oleh bangsa sendiri dengan berbagai kebijakannya, akan tetapi semua itu tidak lepas dari kondisi global yang tidak siap di hadapi dengan keberanian untuk tidak tunduk pada kepentingan Negara tertentu. Begitupun refrendom harus menjadi kata yang benar – benar ada karna keberanian untuk mengatakan tidak pada segala bentuk penjajahan.

Paling tidak sebelum penduduk Indonesia secara umum memiliki keinginan yang sama seperti OPM dan RMS seharusnya mempertimbangkan berbagai kondisi yang ada. Oleh sebab itu ada beberapa hal yang menjadi catatan penulis atas tanggapan terhadap fenomena diatas. Pertama kita semua akan sepakat bahwa nasionalisme itu penting ada dalam sebuah bangsa demi menjaga kebersamaan dalam mencapai tujuan hidup yang lebih sejahtera. Oleh sebab itu pemerintah perlu menyelesaikan kasus tersebut dengan cara menumbuhkan kesadaran sosial masyarakat atau nasionalisme dalam diri masing – masing individu yang disertai dengan jaminan kesejahteraan bersama, bukan kesejahteraaan sebahagian orang atau kelompok. Sehingga tercipta keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia. Adapun penyelesaian secara militer hanya membalut luka secara sesaat tambah menyentuh subtansi masalah sebenarnya. Kedua sebagai penduduk bangsa yang sakit ini seharusnya metode memisahkan diri dari kesatuan bangsa perlu dipertimbangkan dengan matang, jangan sampai kita terjebak pada sebuah lingkaran setan yang tidak diketahui kapan akan berakhir. Sehingga yang perlu dilakukan sekarang ini adalah bagaimana membangun kekuatan bersama dengan semangat nasionalisme untuk mengusir mereka yang berkuasa di negeri ini yang tidak lain adalah bangsa kita sendiri dengan menggantikannya yang baru, dengan itulah tercipta sebuah revolusi sejati. Mudah – mudahan catatan diatas dapat memberikan persepsi berbeda sehingga kita tidak saling mencela termasuk dengan aktifitas yang dilakukan oleh OPM dan RMS, karna apa yang mereka lakukan hanyalah ekspresi diri atas kekecewaan terhadap pengelola negeri ini yang tidak pernah berpihak kepada mereka dalam memenuhi haknya sebagai warga negara.

Akmal Nur
. Anggota INTRAS Makassar.