Oleh: Asranuddin Patoppoi
Permasalahan yang dialami oleh ummat Islam, disebabkan oleh dua factor, secara eksternal dan internal. Faktor eksternal adalah permasalahan yang dialami oleh ummat yang disebabkan karena adanya invasi dan serangan kebudayaan yang sangat dahsyat, kemudian factor internal adalah masalah karena keaadaan ummat Islam yang sudah mulai meninggalkan nilai-nilai luhur dalam agama ini. Setelah bebarapa rentetan peristiwa dunia, menempatkan ummat Islam berada pada kondisi yang suram.
Peristiwa jatuhnya gedung The Twin Word Trade Center (WTC) New York, AS pada tahun 2002 merupakan awal Islam “diperangi” karena Islam diberi label teroris. Dengan dalih memerangi terorisme, AS memburu musuh-musuhnya yang dianggap berbahaya untuk kepentingan AS, sehingga terciptalah perang Afganistan, Iraq dan (menyusul) Iran dan beberapa kekacauan dibeberapa belahan dunia yang dilatarbelakangi isu teroris, termasuk di Indonesia. Dimana-mana, negeri-negeri Islam mengalami hal serupa yang dilanda dengan ketakharmonisan, kecemasan, ketakutan. Tidak sedikit aktivis muslim yang ditangkapi dari berbagai belahan dunia yang kemudian dicekal bahkan dipenjarakan.
Salah satu factor penghambat dalam kemajuan ummat menurut Ali Syariati adalah tradisionalisme dalam beragama. Beberapa pahaman keagamaan yang membuat stagnan, misalnya dengan menganggap pintu berfikir atau ijhtihad telah ditutup, padahal menurut penulis justru salah satu aspek yang sangat penting dalam membangun sebuah peradaban. Aspek yang lain adalah terjadinya pertikaian yang terus terjadi dikalangan ummat yang diwakili oleh mazhab besar dalam Islam, padahal pertentangan secara teologis dapat dikatakan tidak ada, perbedaan yang ada hanyalah pada aspek furu’(partikulir) dalam menjalankan syariat keberislaman.
Demikian halnya dengan serangan kebudayaan yang melanda ummat Islam hari ini. Dimana ummat telah terpatron pada sebuah kebudayaan artificial dari barat. Tumbuhnya, sikap dan gaya hidup (life style) hedonistic, konsumeris, individualistic, dll, kian memperlemah posisi ummat, sehingga kita menjadi subordinate dari sebuah kebudayaan. Ummat ini juga mendapat stigma yang buruk, dimana-mana menjadi ummat yang terkebelakang, miskin, maniak kekerasan, dll menjadi sesuatu hal yang tidak menggembirakan untuk kemajuan Islam. Disisi yang lain, ummat secara internal mengalami kerapuhan, dimana rasa solidaritas atau ukhuwah menjadi barang yang langka. Pada hal sesungguhnya ini merupakan salah satu modal awal untuk melakukan perubahan ditubuh ummat.
Sinergitas Kekuatan Menjadi Kemestian
Dengan melihat kondisi tersebut diatas, maka kita sebagai bagian dari ummat harus melakukan langkah-langkah yang tersistematis sehingga bangunan peradaban Islam yang telah hancur dapat mengalami pertumbuhan kembali. Hal yang pertama dilakukan adalah menyadari bahwa ummat ini diambang kehancuran kemudian melakukan hal-hal yang produktif untuk memajukan ummat, misalnya dengan revitalisasi nilai dengan menggali kembali dan menjalankan ajaran-ajaran Islam yang hakiki, seperti ukhuwah, kerja keras, cinta damai, penegakan nilai-nilai kebenaran, keadilan, kesetaraan dan kemanusiaan, dll.
Tetapi dengan timbulnya kesadaran itu tidak akan serta merta terwujud ketika hanya dilakukan oleh sebahagian ummat, dengan demikan dibutuhkan kesadaran kolektif ummat untuk membangun kembali peradaban. Paling tidak, kita perlu melakukan konsolidasi/gerakan dalam aspek ekonomi, politik dan social. Konsolidasi ekonomi yang dimaksud adalah melakukan sebuah model pendekatan ekonomi yang saling memberdayakan dan sama-sama menguntungkan serta tidak mempraktikkan ekonomi riba untuk kemandirian ekonomi ummat Islam. Konsolidasi politik adalah membangun bargaining position (nilai tawar) dengan pihak-pihak pemerintah atau politisi partai dengan penguatan sipil/masyarakat dengan peningkatan kesadaran politik masyarakat yang tidak mudah terbeli suaranya oleh orang-orang yang mempunyai kepentingan politik kotor, atau politisi yang terkait dengan kasus korupsi (baca: pencuri) atau masyarakat dapat dengan cerdas melakukan pilihan-pilihan politik pada momentum demokrasi, seperti pemilu atau pilkada atau pilkades. Yang ketiga adalah konsolidasi social atau cultural adalah melakukan perbaikan-perbaikan suprasruktur kebudayaan seperti membangun kembali nilai-nilai agama dan kebudayaan seperti nilai keadilan, kemanusiaan, kesetaraan, kebersamaan, saling mernghormati, dll.
Generasi Rausyan Firkr; Rahim Peradaban
Intelektual dalam terminology Islam sering dibahasakan sebagai rausyan fikr, yakni manusia-manusia yang tercerahkan pikirannya dan bertindak untuk kepentingan ummat yang mempunyai karakter ulul albab, yakni muabbid, mujahid, mujtahid dan mujaddid. Ciri muabbid atau ahli ibadah merupakan identitas yang sangat melekat dengan ummat Islam, seperti sholat, dan ibadah-ibadah yang sifatnya individual, ini dapat dilihat dari gerak kaum muslimin yang tiap tahunnya ke Tanah Haram di Makkah, namun ibadah dalam konteks social (muamalah) yang tidak diperhatikan atau (mungkin) terlupakan, seperti menyantuni kaum duafa/fakir miskin. Mujahid adalah semangat juang yang tinggi dalam sehingga mempuyai pemahaman dan kemampuan berjihad dijalan Allah, perlu dipertegas bahwa berjihad disini sebagai upaya untuk keluar dari sebuah kondisi yang mengungkung diri dan ummat, misalnya kebodohan dan ketertindasan, sehingga melahirkan karya-karya kemanusiaan dan teknologi. Mujtahid merupakan kemampuan berpikir yang tinggi sehingga tindakannya merupakan pilihan yang sadar dari dalam dirinya, bukan karena hanya mengikut atau taklid. Mujaddid atau pembaharu yakni memiliki energi untuk melakukan perbaikan-perbaikan atas kondisi social yang melingkupinya.
Sehingga peran real intelektual muslim menurut penulis adalah, pertama melakukan proses transformasi gagasan pembaharuan dan nilai kepada masyarakat, kedua menjadi penyambung tali silaturrahmi dikalangan ummat, dengan tidak ikut-ikutan mempertegas identitas mazhab (hiper ashabian). Ketiga, bersama ummat/rakyat dalam mengatasi problematika yang dihadapi, Keempat, senantiasa melakukan dialog kebudayaan, peradaban, sehingga tercipta harmonisasi peradaban antara Barat, Islam, Kungfusian, dll
Dengan demikian, peranan masyarakat, cendikiawan/kaum terpelajar, dan ulama harus sinergis untuk menciptakan sebuah kekuatan besar untuk mewujudkan cita-cita tersebut diatas. Ketiga komponen tersebut (masyarakat, cendikiawan dan ulama) harus lebih intensif untuk melakukan pertemuan-pertemuan dan melakukan perbincangan untuk masalah-masalah social dan kemasyarakatan yang melingkupinya dan masa depan ummat.
Terakhir, marilah kita senantiasa mempertanyakan pada diri kita, APAKAH SELAMA INI KITA TELAH BERBUAT UNTUK UMMAT, dan sampai sejauhmana signifikansinya untuk peradaban Islam (masyarakat yang diridhoi Allah) yang kita citakan? Dan apa yang harus dilakukan untuk kemanusiaan?
Asranuddin Patoppoi. Koordinator Badan Pekerja INTRAS Sulawesi.